mataaininews.my.id - Dana desa terus mengalir ke pelosok negeri dengan angka yang fantastis, mencapai miliaran rupiah setiap tahun. Namun, pertanyaan yang tak kunjung terjawab adalah: benarkah rakyat mengetahui ke mana uang itu bermuara?
Di banyak desa, papan informasi anggaran raib entah ke mana. Laporan keuangan berhenti di meja birokrasi. Musyawarah desa berubah menjadi seremonial belaka. Transparansi yang mestinya menjadi asas utama, justru dipelintir menjadi formalitas tanpa makna.
Padahal, UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa serta Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 dengan jelas menegaskan kewajiban transparansi dan akuntabilitas. Namun di lapangan, tidak sedikit kepala desa yang berperilaku bak raja kecil—menguasai anggaran, menutup rapat informasi, seakan dana desa adalah milik pribadi.
Menteri Desa PDTT pernah menegaskan, “Transparansi adalah kunci. Setiap rupiah dana desa harus bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.” Senada, BPK menyoroti kelemahan pengelolaan dengan mengingatkan, “Dana desa rentan disalahgunakan jika tidak ada pengawasan langsung dari masyarakat.” Bahkan KPK memperingatkan keras, “Penyalahgunaan dana desa adalah tindak pidana korupsi. Kepala desa bisa dijerat hukum bila terbukti menyalahgunakan wewenang.”
Pertanyaan tajam pun mengemuka: di mana peran pengawasan? Mengapa aparat penegak hukum kerap terkesan bungkam? Apakah inspektorat hanya sibuk mencatat angka di laporan tanpa benar-benar turun melihat? Atau, jangan-jangan ada pihak yang turut menikmati gelapnya dana desa?
Jika keterbukaan terus diabaikan, maka jalan lebar untuk penyalahgunaan akan terbuka. Bukan hanya uang rakyat yang melayang, tetapi juga kepercayaan publik yang terkubur. Dan itu berarti, pengkhianatan nyata terhadap amanah yang diemban pemerintah desa.-u
Karena itu, masyarakat tidak boleh diam. Dana desa bukan belas kasih penguasa, melainkan hak rakyat. Sudah saatnya suara kolektif digemakan: rakyat berhak tahu, rakyat berhak menagih, rakyat berhak mengawasi. Desa membutuhkan pemimpin yang menjaga amanah, bukan pengkhianat yang memperdagangkan kepercaya
M. Sarifuddin
