Ketika Aturan Dibungkam Angka: Dugaan Pungli Mengintai Samsat Jatirogo

 


Tuban – mataaininews.my.id

Di negeri ini, rakyat selalu diminta taat aturan. Bayar pajak, urus dokumen, ikuti prosedur. Tapi apa jadinya jika justru aturan itu dibungkam dengan angka? Jika pelayanan publik berubah menjadi ajang tawar-menawar tarif liar?

Itulah yang dialami T, warga Desa Sidomukti, Kecamatan Kenduruan, Tuban. Pada 15 April 2025, ia hanya ingin melunasi pajak tahunan motornya yang telat 1 tahun dan mengganti plat nomor Honda Vario miliknya. Seharusnya sederhana, cukup membayar sesuai aturan. Tapi yang sederhana berubah rumit ketika T berhadapan dengan seorang pegawai Samsat berinisial D.

Alih-alih menjelaskan prosedur resmi, oknum D justru menetapkan biaya Rp1,2 juta—angka yang melampaui batas nalar. Padahal, secara resmi, biaya pajak dan ganti plat motor roda dua biasanya hanya berkisar Rp400 ribu hingga Rp600 ribu.

T sempat mundur. Pulang dengan rasa getir, dengan pertanyaan yang menggantung: mengapa tarif resmi yang seharusnya transparan, justru dikaburkan dengan angka yang ditetapkan seenaknya?

Keesokan harinya, T kembali. Ia bertemu D lagi, mencoba menawar. Dari Rp1,2 juta turun menjadi Rp1 juta. Dan dengan mudah, tawaran itu disetujui. Seolah-olah pajak negara bisa dinegosiasikan seperti barang di pasar.

Maka pertanyaannya: di mana letak keadilan? Bagaimana mungkin rakyat diminta patuh, jika aparatur justru mempermainkan aturan? Apakah Samsat Jatirogo masih menjadi kantor pelayanan, atau sudah berubah menjadi pasar gelap transaksi gelap?

Fenomena pungli seperti ini bukan sekadar soal uang. Ini soal kepercayaan. Ketika pungli dibiarkan, ketika aparat diam, maka yang runtuh bukan hanya sistem pelayanan publik, tapi juga harapan rakyat terhadap negara.

Lebih jauh, dugaan praktik ini bukan hanya pelanggaran etik, tapi juga masuk ranah pidana. Dalam Pasal 368 KUHP, perbuatan memaksa seseorang memberikan sesuatu dengan ancaman jabatan dapat dikategorikan sebagai pemerasan. Sementara dalam Pasal 12 huruf e UU Tipikor, setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pembayaran tidak sah dapat dipidana dengan penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun.

Dan akhirnya kita bertanya:

Jika membayar pajak saja harus lewat jalur tawar-menawar, lalu apa arti semua aturan yang dipajang di dinding kantor Samsat? Jika rakyat terus diperas di pintu pelayanan, lalu siapa sebenarnya yang sedang melanggar hukum—warga yang telat membayar, atau aparat yang menjadikan hukum sebagai dagangan?

Redaksi



Lebih baru Lebih lama